Om Rohid adalah
seorang kepala ruangan Lab di PULUT sini. PNS satu ini, orangnya asik. Gokil
lagi. Dan karena alasan itu juga yang kadangan membuat gue ga henti-hentinya
ketawa ngakak kalo lagi ngobrol, atopun ga sengaja ngeliat tingkah lakunya yang
gokil itu.
“Iya, Om.” Balas
gue ngejawab ke dia sambil berjalan mendekat menuju ruangannya.
Sesampainya di
ruangan, gue mendapati seorang Ibu-ibu dengan posisi yang sangat lemah. Bahkan
untuk sedekar berjalan pun, si Ibu ini terlihat tertatih-tatih tak berdaya.
“Kenapa, Bu?”
tanya gue ke Ibu itu.
“Begini, Nak..
badan Ibu ini lemeessss, banget. Terus Ibu juga...” si Ibu pun mulai
menjelaskan keluhannya ke gue secara detail.
“Oh, saya
periksa HB-nya
dulu, ya, Bu...” lanjut gue ngomong ke Ibu itu sambil bersiap-siap untuk
melakukan pemeriksaan setelah ia menjelaskan semua keluhannya.
“Ini anaknya
kenapa nangis terus, Bu??” tanya gue heran kepada si Ibu yang melihat Putri
kecilnya yang sedari tadi nangis ga henti-henti.
“Iya, dia ini
tadi Ibu cubit gara-gara nakal. Maapin Ibu, ya, Nak...” kata si Ibu yang
kemudian mengelus-elus kepala Putrinya itu.
Ibu itu nampak
terlihat menyesali sekali akan kesalahannya terhadap Putri kecilnya itu. Gue
yang melihat itu semua, mendadak terenyuh. Sesekali ibu itu terlihat kesulitan
untuk bernafas. Seperti sesak. Seolah menahan rasa sakitnya, berkali-kali pula
ia memegangi dadanya.
“Dadanya kenapa,
Bu??”
“Nggak tahu,
Nak. Sakiiittt... bener, rasanya.” Jawab si Ibu sembari mencoba untuk mengambil
nafas dalam-dalam dengan posisi tangan kanannya yang masih memegangi dadanya
tersebut.
Sambil memakai Handscun, gue
mencoba untuk bertanya lagi kepada si Ibu. “Sebelumnya sudah pernah di-Rontgen, Bu??”
“Belum, Nak. Ibu
belum pernah Rontgen”
Gue pun dengan
segera melakukan pengecekan HB. Selesainya
dari gue mengambil darah si Ibu itu, ia pun kembali mengelus-elus kepala
Putrinya (lagi) yang masih saja menangis daritadi. Ibu itu juga kembali
mengulangi kata-katanya untuk meminta maaf kepada Putri kecilnya itu. Dan
lagi-lagi gue yang melihat itu semua, hanya bisa tersenyum.
*beberapa menit
kemudian*
“HB-nya normal,
kok, Bu.” Kata gue sambil memberikan lembaran kertas hasil Cek Lab kepada si
Ibu.
“Jadi, Ibu ini
sebenernya sakit apa ya, Nak?”
“Maaf, kalo
boleh saya tahu, Ibu tinggal di daerah mana?”
“Ibu tinggal
di...” si Ibu pun menjelaskan tempat tinggalnya.
“Oh, padat
penduduk gitu ya, Bu?”
“Enggak, sih,
Nak... cuman, Ibu tinggal di daerah yang deket pembuangan sampah gitu, Nak.
Maklum soalnya suami ibu kerjanya.....” si Ibu itu pun mencoba untuk
menceritakan tempat tinggalnya secara detail ke gue. Yang juga kemudian mulai
menceritakan pekerjaan utama dari suaminya.
“Oh, gitu...”
balas gue ngejawab setelah mendengar semua penjelasannya itu. “Yasudah, mari
saya antar ke ruang periksa lagi aja ya, Bu. Ibu kuat ga jalan?” lanjut gue
ngomong ke dia sembari mengajaknya berjalan keluar dari ruangan Lab.
“Kuat, kok,
Nak..” kata si Ibu menjawab ke gue sambil ia berjalan pelan-pelan memegangi
tembok ruangan untuk menopang langkahnya. Gue pun pelan-pelan menuntun ibu itu
hingga sampai ke ruangan periksa di lantai dasar. Iya. Di tempat ini, memang
ruangan Laboratoriumnya berada di lantai atas. Sedangkan untuk ruangan
pemeriksaan pasien sendiri, berada di lantai bawah.
Sesampainya di
bawah, ketika gue baru saja ingin mengajak si Ibu tadi memasuki ruangan
periksa, tetiba ibu itupun mendadak lemas, kemudian jatuh pingsan. Suasana
tegang! Gue panik. Posisi juga sedang jam istirahat makan siang. Caakepp
bangeettt!
Bukan!!
Bukan karena
sedang dalam keadaan pingsan si ibu ini terlihat mendadak cakep! Maksud gue,
kenapa pada saat-saat genting kayak gini, malahan ga ada orang yang nongol
giniii???!!!!!
Nggak lama, Kak
Reni sama Kak Sheila lewat. Untung aja ada mereka berdua. Dua orang perawat ini
pun langsung bergegas membantu gue untuk membawa si ibu itu menuju ruangan UGD.
Sesampainya di
dalam ruangan UGD, kami bertiga membaringkan ibu itu di-BED. Kak Reni
langsung bergegas mengambil alat Tensi. Kak Sheila
juga langsung bergegas mengambil tabung oksigen.
Gue pun pada saat itu pula langsung bergegas untuk melakukan foto selfie
se-narsis-narsisnya di dalam ruangan segera memanggil dokter jaga.
Setelah
memanggil dokter jaga, gue mencoba menenangkan si Ibu sambil meyodorkan segelas
air putih kepadanya yang masih dalam posisi lemah setelah mulai sedikit siuman
dari pingsannya. “Bu, ini diminum aja dulu, ya, Air-nya.”
Ibu itu pun
meminumnya sampai habis. Setelah itu, ia kembali lagi berbaring di atas BED. Dengan
posisi nafas yang terlihat sangat begitu sesak, si Ibu masih saja mengelus-elus
kepala Putrinya tadi ga berenti-berenti sambil diiringi permintaan maaf yang
terus-terusan keluar dari mulutnya.
“Anaknya ga
apapa, kok, Bu. Ibu istirahat aja dulu, orang rumah sudah dikabari, Bu?.”
Lagi-lagi gue mencoba untuk menenangkan si Ibu itu.
“Udah, Nak.
Barusan udah ibu telepon. Lagi di jalan mau ke sini katanya.” Jawab si Ibu itu
ke gue dengan posisi selang oksigen yang kini sudah terpasang di hidungnya.
“Tensi-nya normal,
kok, Pik.” Potong Kak Reni ngomong ke gue.
“Berapa Kak?”
“110/70”
“Emm.. ini,
bagus.” Kemudian gue pun langsung mencatat hasil tensi itu.
Nggak lama,
dokter jaga pun masuk ke dalam ruangan UGD. Kami pun menjelaskan semua
kronologinya kepada dokter jaga ini. Setelah selesai dari memeriksa dan melihat
semua hasil laporan yang kami berikan kepadanya, sang dokter pun mempersilahkan
kepada kami semua untuk bisa kembali lagi ke ruangan masing-masing. Seperti
ingin menyampaikan sesuatu, ada pesan ataupun kata-kata yang ‘mungkin’ ingin
disampaikan oleh si Ibu itu. Entah kepada kami, entah kepada Putri kecilnya
itu. Semua terlihat jelas dari sepasang matanya yang terlihat berbinar menatap
ke arah kami. Lagi-lagi ibu itupun terlihat sesekali mencoba kembali menahan
rasa perih yang dirasakannya sekarang.
Mengikuti
instruksi, kami pun keluar meninggalkan ruangan.