sedang mencari...
Tuesday, February 28, 2017
Tuesday, February 28, 2017

Arti Hidup

Manusia adalah salah satu mahluk yang tak pernah bisa mensyukuri nikmat!

Kenapa gue bilang gitu? Kita ambil contoh misalnya kek gini: Buang sampah, sembarang. Ujung-ujungnya apa? Menyebabkan banjir, kan? Pas udah banjir, siapa yang disalahkan? Pemerintah, kan? Padahal mereka tak menyadari, bahwa itu semua tadi adalah salah satu bentuk dari ulah mereka sendiri. Ujung-ujungnya mereka hanya bisa saling menyalahkan satu sama lain. Ini kan lucu.

Ada lagi.

Selain daripada membuang sampah sembarangan, manusia juga sering kali menebang pohon-pohon besar seenak jidatnya sendiri. Hutan-hutan pada gundul gegara pepohonan pada ditebangi oleh tangan-tangan mereka yang tak bertanggung jawab. Dampak buruk dari ulah mereka ini juga adalah salah satu pemicu penyebab terjadinya banjir, gaes! Lalu? Kalau banjir terjadi, siapa yang disalahkan lagi? Tetap pemerintah, kan?

Lagi. Lagi. Dan lagi. Mereka tak pernah menyadari akan hal itu.

Gue heran sama manusia-manusia seperti itu. Di mana coba akal sehat mereka? Di mana hati nurani mereka? Manusia-manusia seperti itu hanya sibuk mementingkan kepentingan pribadi mereka sendiri! Kepentingan yang sifatnya hanya menguntungkan diri mereka! Tetapi, mereka tak pernah berfikir dampak buruk yang akan terjadi untuk banyak orang ke depannya nanti gara-gara ulah mereka itu! Asli. Gue kadangan nggak habis pikir. Bener-bener nggak ada otak! *ceritanya lagi marah* *tolong jangan ada yang ngajak becanda dulu*

Sekarang aja udah mulai musim hujan lagi. Di mana-mana udah mulai terjadi banjir. Di berita-berita juga begitu. Nggak sedikit dari berita-berita yang gue tonton di tipi-tipi itu sekarang setiap harinya pada sibuk memberitakan banyak sekali di berbagai-bagai tempat yang kini mulai dilanda banjir. Jujur, untuk semua alasan itu pula lah hati gue terketuk buat nyeritain pengalaman pribadi gue dua hari yang lalu. Dan berhubung malam ini gue juga kebetulan lagi nggak ada kerjaan, kayaknya ini moment yang pas buat gue nyeritain pengalaman gue tadi di blog ini.

Jadi, apa hubungan sama masalah; nebang pohon, buang sampah dan masalah banjir di atas tadi, Pik???

Enggak ada. Ini semua gak ada sama sekali hubungannya sama masalah nebang pohon ataupun buang sampah sembarangan di atas. Gue ulang sekali lagi: ini semua sama sekali gak ada hubungannya sama kejadian di atas tadi ~ ~ ~ ~ ~ ~

Notes: Tanda baca di kalimat terakhir barusan sengaja gue buat panjang ya, gaes.. Biar makin gondok maksimal aja kalian ngebaca tulisan barusan..

***

Oke. Jadi giniii..

Ceritanya malam minggu kemarin gue bersama keluarga baru saja abis dari menjenguk saudara yang baru aja pulang dari rumah sakit sehabis melahirkan anak pertamanya. Sesampainya di sana, suasana benar-benar begitu ramai. Hampir semua saudara berkumpul di sana malam itu. Gue ngeliatin si bayi yang baru aja lahir beberapa hari itu tampak begitu sangat lucu dan menggemaskan (yaiyalah, kalo bayinya sangar ngeri juga kali, ya?). Setelah mengucapkan selamat kepada saudara gue dan melihat si bayi tadi, seperti biasa, namanya juga keluarga, obrolan seolah seperti temu kangen pun dimulai.

Sebenernya, mulai dari awal keberangkatan ke sini tadi, gue tuh udah nyiapin mental setegar mungkin untuk menghadapi obrolan-obrolan sakral seperti ini. Dan benar saja, hal yang paling gue takutkan terjadi. Pertanyaaan; “jadi, kamu kapan nikah???” itupun tak bisa terhindari. Adaaa,… aja saudara yang nyeletuk nanya kek gitu. Gue juga heran. Ckckck.. Dan berhubung ini adalah moment kumpulnya keluarga besar, gue lebih memilih untuk kalem dengan ngejawab santai tanpa harus memberi jawaban ngelantur seperti: “Pacarku lagi malam mingguan sama orang laen, Om.. Tapi Om tenang aja, kalo pun pacarku itu kehabisan bensin di jalan, akan kubawakan bensin seember besar + korek api gas dari sini untuk membakar pacarnya yang sekarang..” Enggak. Gue enggak ngejawab konyol seperti itu..

Malam itu, tepatnya di ruangan keluarga, obrolan demi obrolan pun semakin jauh berjalan. Sampai pada akhirnya tiba suatu obrolan baru yang membuat kedua mata gue seolah seperti ingin meneteskan air mata haru. Semua itu dimulai dari saudara gue yang membuka cerita mengenai tentang kepanikannya pada saat proses persiapan istrinya yang tinggal menghitung detik-detik hari melahirkan, sampai ke cerita proses selesainya dari persalinan istrinya beberapa hari yang lalu.

Ia bercerita begitu panik saat mengetahui bayi laki-lakinya itu sulit sekali untuk keluar. Belum lagi ditambah proses persalinan yang dadakan di luar daripada prediksi, lalu pengalaman yang belum ada, belum lagi kepanikan saat berada di dalam ruang persalinan yang pake acara dicubit istrinya segala lah, dijambak istri, baju ditarik-tarik, dan hal-hal lain sebagainya. Pokoknya segala macam bentuk apa yang dirasakan pada saat ia menemani sang istri melahirkan beberapa hari lalu itu semua ia ceritakan. Gue yang juga kebetulan mendengarkan ceritanya tersebut hanya bisa menyimak dengan baik saja. Diam dan gak bisa berkomentar apa-apa. Selain dikarenakan gue juga belum berpengalaman nemenin istri melahirkan (boro-boro istri, pacar aja kagak ada, kan?), gue juga gak ngerti harus ikut masuk ke dalam obrolan dengan memulai topik obrolan yang seperti apa --- (?)

Tetapi, pada saat gue membayangkan saudara gue yang dicubit-cubit dan dijambak-dijambakin oleh istrinya di dalam ruang persalinan kemarin itu, pesan yang gue dapat buat kalian semua para kaum Adam kelak adalah: gunakanlah rompi baja, rompi anti peluru, atau apapun itu bentuknya dengan menggunakan atribut selengkap-lengkap mungkin! Itung-itung sebagai bentuk jaga-jaga untuk tameng perlindungan diri. Karena, ketika si istri ingin mencubit, menjambak, bahkan mungkin ingin menampar kalian ketika berada di dalam ruang persalinan, setidaknya kalian udah ada persiapan yang matang dengan berkata: “Tampar aku sayang..!! Tampar aja aku..!! Tampar!!! Aku udah siap kamu tampar!!! Gapapa, tampar aja akuu..!!”

***

Singkat cerita, obrolan demi obrolan pun terus berlalu. Sampai pada akhirnya kali ini malah bokap yang membuka obrolan dengan bercerita mengenai proses kelahiran gue 25 tahun yang lalu. Bokap bercerita dari mulai tentang proses kelahiran gue yang juga di luar dari prediksi, sampai ke proses perjalanan menuju tempat persalinan gue yang benar-benar membutuhkan perjuangan pada saat itu. Ternyata setelah menyimak cerita beliau, sewaktu proses detik-detik kelahiran gue dulu tuh banyak bener cobaan dan kepanikan yang mereka alami. Dari mulai panik dikarenakan gak ada kendaraan untuk membawa nyokap ke tempat persalinan, pas kondisi bokap juga lagi gak megang duit lebih, ditambah ban mobil yang mendadak malah pecah ban di jalan sewaktu menuju tempat bersalin. Hmm.. Gak heran kalo orang-orang ngeliatin kelakuan gue kebanyakan pada langsung ngelus dada, ternyata dari proses mau lahiran aja gue emang udah bikin susah banyak orang.. Ckckck..

Saat itu juga gue langsung membayangkan kepanikan yang mereka rasakan pada waktu itu. Gue mencoba membayangkan betapa menderitanya nyokap. Pada saat posisi detik-detik ingin melahirkan gue, yang ada mobil yang dipakai mengantarkannya untuk menuju tempat persalinan waktu itu malah mendadak pecah ban di jalan. Gue juga langsung membayangkan kepanikan bokap yang mengetahui hal itu. Belum lagi ditambah posisinya yang pada saat itu sama sekali lagi gak megang uang lebih. Gue kembali membayangkan moment 25 tahun yang lalu. Dari usia 0 - 25 tahun saat ini, malah gue belum bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Belum bisa membahagiakan mereka. Malah gue selalu saja menyusahkan mereka. Dan sebuah pertanyaan kecil yang terlintas menghampiri gue saat ini adalah: “Kenapa gue baru sadar sekarang?”

***

Malam minggu kali ini memang benar-benar terasa sedikit berbeda dari malam-malam minggu biasanya. Setidaknya, gue bisa sedikit sadar akan arti hidup dan mengetahui perjuangan orangtua dari mulai merawat, menjaga, mendidik, hingga membesarkan anak-anaknya dari usia 0 bulan sampai ke usia kita saat ini. Sedangkan kita sebagai anak, terkadang sering bandel dengan tidak mau menuruti nasehat-nasehat mereka. Nasehat yang kalo kita cerna dengan lebih cermat lagi adalah sebuah nasehat baik yang tak lain demi untuk kebaikan kita sendiri juga. Sering kali kita malah terkadang mengabaikan seruan-seruan mereka itu dengan memilih untuk seolah tak menghiraukan seruan mereka dan jauh lebih mementingkan ego ketimbang mendengarkan.

Ada banyak sekali hikmah dan pelajaran yang bisa gue ambil dari obrolan malam itu. Setidaknya, kita harus merubah pribadi diri kita yang sekarang untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan mengabdi lagi kepada kedua orangtua kita. Karena pada dasarnya mereka para orangtua kita sejatinya tak pernah mengharapkan belas kasian dalam bentuk apapun itu dari kita. Ada banyak cara untuk kita membalas budi baik mereka. Tak harus dengan cara memberikan bentuk berupa materi, tetapi bisa merupakan dalam bentuk; mendoakan, mendengarkan nasehat, menyanyangi mereka seperti mereka menyanyagi kita sampai di usia kita saat ini, menjaga, merawat, dan hal sederhana yang paling simpel lagi adalah: “setidaknya jangan pernah membantah seruan mereka.”

Banyak sekali orang-orang diluaran sana yang begitu teramat menyesali hal-hal sepele seperti itu semua. Ada dari mereka yang ketika mencapai pucuk kejayaan tetapi melupakan kedua orangtua. Ada juga yang terhanyut mengabaikan kedua orangtua lalu berhasil mencapai kesuksesan karena ketekunannya mereka yang sebenarnya salah versi tadi. Tetapi, di satu sisi waktu yang berbeda mereka tersadar seolah merasa ada yang kurang saat menyadari kedua orangtua mereka sudah tidak lengkap bahkan sudah tidak ada lagi di dunia ini. Terlambat. Untuk apa lagi menyesali itu semua? Ada juga yang masih ingin bersama dan berniat untuk membahagiakan orangtua dalam bentuk nyata, tetapi yang bisa dilakukan hanya sanggup mengirimkan cahaya berupa doa untuk orangtuanya yang telah jauh pergi meninggalkan dunia. Dan masih banyak lagi bentuk penyesalan-penyesalan lainnya.

Maka, oleh sebab daripada itu semua, sayangilah kedua orangtua kita selagi mereka ada (dan selagi kita mampu) dengan versi dan cara kita sendiri. Sebab, waktu tak akan pernah bisa diputar seperti sedia kala. Tak ada kata terlambat untuk sadar dan memulai merubah semua. Percayalah, penyesalan itu kelak nanti benar adanya. Pertanyaan sederhananya sekarang adalah: “Jadi, kapan kita mau berubah untuk ini semua???” : ))



 
Back to top!