Manusia adalah salah
satu mahluk yang tak pernah bisa mensyukuri nikmat!
Kenapa gue bilang
gitu? Kita ambil contoh misalnya kek gini: Buang sampah, sembarang.
Ujung-ujungnya apa? Menyebabkan banjir, kan? Pas udah banjir, siapa yang
disalahkan? Pemerintah, kan? Padahal mereka tak menyadari, bahwa itu semua tadi
adalah salah satu bentuk dari ulah mereka sendiri. Ujung-ujungnya mereka hanya
bisa saling menyalahkan satu sama lain. Ini kan lucu.
Ada lagi.
Selain daripada
membuang sampah sembarangan, manusia juga sering kali menebang pohon-pohon
besar seenak jidatnya sendiri. Hutan-hutan pada gundul gegara pepohonan pada
ditebangi oleh tangan-tangan mereka yang tak bertanggung jawab. Dampak buruk
dari ulah mereka ini juga adalah salah satu pemicu penyebab terjadinya banjir,
gaes! Lalu? Kalau banjir terjadi, siapa yang disalahkan lagi? Tetap pemerintah,
kan?
Lagi. Lagi. Dan
lagi. Mereka tak pernah menyadari akan hal itu.
Gue heran sama
manusia-manusia seperti itu. Di mana coba akal sehat mereka? Di mana hati
nurani mereka? Manusia-manusia seperti itu hanya sibuk mementingkan kepentingan
pribadi mereka sendiri! Kepentingan yang sifatnya hanya menguntungkan diri
mereka! Tetapi, mereka tak pernah berfikir dampak buruk yang akan terjadi untuk
banyak orang ke depannya nanti gara-gara ulah mereka itu! Asli. Gue kadangan
nggak habis pikir. Bener-bener nggak ada otak! *ceritanya lagi marah* *tolong jangan ada yang ngajak
becanda dulu*
Sekarang aja udah
mulai musim hujan lagi. Di mana-mana udah mulai terjadi banjir. Di
berita-berita juga begitu. Nggak sedikit dari berita-berita yang gue tonton di
tipi-tipi itu sekarang setiap harinya pada sibuk memberitakan banyak sekali di
berbagai-bagai tempat yang kini mulai dilanda banjir. Jujur, untuk semua
alasan itu pula lah hati gue terketuk buat nyeritain pengalaman pribadi gue dua hari yang lalu. Dan berhubung
malam ini gue juga kebetulan
lagi nggak ada kerjaan, kayaknya ini
moment yang pas buat gue nyeritain
pengalaman gue tadi di blog ini.
“Jadi, apa hubungan
sama masalah; nebang pohon, buang sampah dan masalah banjir di atas tadi,
Pik???”
Enggak ada. Ini semua gak ada sama sekali
hubungannya sama masalah nebang pohon ataupun buang sampah sembarangan di atas.
Gue ulang sekali lagi: ini
semua sama sekali gak ada hubungannya sama kejadian di atas tadi ~ ~ ~ ~ ~ ~
Notes: Tanda baca di kalimat terakhir barusan sengaja gue buat panjang ya, gaes.. Biar makin gondok maksimal aja kalian
ngebaca tulisan barusan..
***
Oke. Jadi giniii..
Ceritanya malam
minggu kemarin gue bersama keluarga baru saja abis dari menjenguk saudara yang
baru aja pulang dari rumah sakit sehabis melahirkan anak pertamanya.
Sesampainya di sana, suasana benar-benar begitu ramai. Hampir semua saudara
berkumpul di sana malam itu. Gue ngeliatin si bayi yang baru aja lahir beberapa
hari itu tampak begitu sangat lucu dan menggemaskan (yaiyalah, kalo bayinya
sangar ngeri juga kali, ya?). Setelah mengucapkan selamat kepada saudara gue
dan melihat si bayi tadi, seperti biasa, namanya juga keluarga, obrolan seolah
seperti temu kangen pun dimulai.
Sebenernya, mulai
dari awal keberangkatan ke sini tadi, gue tuh udah nyiapin mental setegar
mungkin untuk menghadapi obrolan-obrolan sakral seperti ini. Dan benar saja,
hal yang paling gue takutkan terjadi. Pertanyaaan; “jadi, kamu kapan nikah???” itupun tak bisa terhindari. Adaaa,… aja saudara yang nyeletuk
nanya kek gitu. Gue juga heran. Ckckck.. Dan berhubung ini adalah moment
kumpulnya keluarga besar, gue lebih memilih untuk kalem dengan ngejawab santai
tanpa harus memberi jawaban ngelantur seperti: “Pacarku lagi malam
mingguan sama orang laen, Om.. Tapi Om tenang aja, kalo pun pacarku itu
kehabisan bensin di jalan, akan kubawakan bensin seember besar + korek api gas
dari sini untuk membakar pacarnya yang sekarang..” Enggak. Gue enggak
ngejawab konyol seperti itu..
Malam itu, tepatnya
di ruangan keluarga, obrolan demi obrolan pun semakin jauh berjalan. Sampai
pada akhirnya tiba suatu obrolan baru yang membuat kedua mata gue seolah
seperti ingin meneteskan air mata haru. Semua itu dimulai dari saudara gue yang
membuka cerita mengenai tentang kepanikannya pada saat proses persiapan
istrinya yang tinggal menghitung detik-detik hari melahirkan, sampai ke cerita
proses selesainya dari persalinan istrinya beberapa hari yang lalu.
Ia bercerita begitu
panik saat mengetahui bayi laki-lakinya itu sulit sekali untuk keluar. Belum
lagi ditambah proses persalinan yang dadakan di luar daripada prediksi, lalu
pengalaman yang belum ada, belum lagi kepanikan saat berada di dalam ruang
persalinan yang pake acara dicubit istrinya segala lah, dijambak istri, baju
ditarik-tarik, dan hal-hal lain sebagainya. Pokoknya segala macam bentuk apa
yang dirasakan pada saat ia menemani sang istri melahirkan beberapa hari lalu
itu semua ia ceritakan. Gue yang juga kebetulan mendengarkan ceritanya tersebut
hanya bisa menyimak dengan baik saja. Diam dan gak bisa berkomentar apa-apa.
Selain dikarenakan gue juga belum berpengalaman nemenin istri melahirkan
(boro-boro istri, pacar aja kagak ada, kan?), gue juga gak ngerti harus ikut
masuk ke dalam obrolan dengan memulai topik
obrolan yang seperti apa --- (?)
Tetapi, pada saat
gue membayangkan saudara gue yang dicubit-cubit dan dijambak-dijambakin oleh
istrinya di dalam ruang persalinan kemarin itu, pesan yang gue dapat buat
kalian semua para kaum Adam kelak adalah: gunakanlah rompi baja, rompi anti
peluru, atau apapun itu bentuknya dengan menggunakan atribut selengkap-lengkap
mungkin! Itung-itung sebagai bentuk jaga-jaga untuk tameng perlindungan diri.
Karena, ketika si istri ingin mencubit, menjambak, bahkan mungkin ingin
menampar kalian ketika berada di dalam ruang persalinan, setidaknya kalian udah
ada persiapan yang matang dengan berkata: “Tampar aku
sayang..!! Tampar aja aku..!! Tampar!!! Aku udah siap kamu tampar!!! Gapapa,
tampar aja akuu..!!”
***
Singkat cerita,
obrolan demi obrolan pun terus berlalu. Sampai pada akhirnya kali ini malah
bokap yang membuka obrolan dengan bercerita mengenai proses kelahiran gue 25
tahun yang lalu. Bokap bercerita dari mulai tentang proses kelahiran gue yang
juga di luar dari prediksi, sampai ke proses perjalanan menuju tempat
persalinan gue yang benar-benar membutuhkan perjuangan pada saat itu. Ternyata
setelah menyimak cerita beliau, sewaktu proses detik-detik kelahiran gue dulu
tuh banyak bener cobaan dan kepanikan yang mereka alami. Dari mulai panik
dikarenakan gak ada kendaraan untuk membawa nyokap ke tempat persalinan, pas
kondisi bokap juga lagi gak megang duit lebih, ditambah ban mobil yang mendadak
malah pecah ban di jalan sewaktu menuju tempat bersalin. Hmm.. Gak heran kalo
orang-orang ngeliatin kelakuan gue kebanyakan pada langsung ngelus dada,
ternyata dari proses mau lahiran aja gue emang udah bikin susah banyak orang..
Ckckck..
Saat itu juga gue
langsung membayangkan kepanikan yang mereka rasakan pada waktu itu. Gue mencoba
membayangkan betapa menderitanya nyokap. Pada saat posisi detik-detik ingin
melahirkan gue, yang ada mobil yang dipakai mengantarkannya untuk menuju tempat
persalinan waktu itu malah mendadak pecah ban di jalan. Gue juga langsung
membayangkan kepanikan bokap yang mengetahui hal itu. Belum lagi ditambah
posisinya yang pada saat itu sama sekali lagi gak megang uang lebih. Gue
kembali membayangkan moment 25 tahun yang lalu. Dari usia 0 - 25 tahun saat
ini, malah gue belum bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Belum bisa
membahagiakan mereka. Malah gue selalu saja menyusahkan mereka. Dan sebuah
pertanyaan kecil yang terlintas menghampiri gue saat ini adalah: “Kenapa gue baru
sadar sekarang?”
***
Malam minggu kali
ini memang benar-benar terasa sedikit berbeda dari malam-malam minggu biasanya.
Setidaknya, gue bisa sedikit sadar akan arti hidup dan
mengetahui perjuangan orangtua dari mulai merawat, menjaga, mendidik, hingga
membesarkan anak-anaknya dari usia 0 bulan sampai ke usia kita saat ini.
Sedangkan kita sebagai anak, terkadang sering bandel dengan tidak mau menuruti
nasehat-nasehat mereka. Nasehat yang kalo kita cerna dengan lebih cermat lagi
adalah sebuah nasehat baik yang tak lain demi untuk kebaikan kita sendiri juga.
Sering kali kita malah terkadang mengabaikan seruan-seruan mereka itu dengan
memilih untuk seolah tak menghiraukan seruan mereka dan jauh lebih mementingkan
ego ketimbang mendengarkan.
Ada banyak sekali
hikmah dan pelajaran yang bisa gue ambil dari obrolan malam itu. Setidaknya,
kita harus merubah pribadi diri kita yang sekarang untuk menjadi pribadi yang
jauh lebih baik dan mengabdi lagi kepada kedua orangtua kita. Karena pada
dasarnya mereka para orangtua kita sejatinya tak pernah mengharapkan belas
kasian dalam bentuk apapun itu dari kita. Ada banyak cara untuk kita membalas
budi baik mereka. Tak harus dengan cara memberikan bentuk berupa materi, tetapi
bisa merupakan dalam bentuk; mendoakan, mendengarkan nasehat, menyanyangi
mereka seperti mereka menyanyagi kita sampai di usia kita saat ini, menjaga,
merawat, dan hal sederhana yang paling simpel lagi adalah: “setidaknya jangan
pernah membantah seruan mereka.”
Banyak sekali
orang-orang diluaran sana yang begitu teramat menyesali hal-hal sepele seperti
itu semua. Ada dari mereka yang ketika mencapai pucuk kejayaan tetapi melupakan
kedua orangtua. Ada juga yang terhanyut mengabaikan kedua orangtua lalu
berhasil mencapai kesuksesan karena ketekunannya mereka yang sebenarnya salah
versi tadi. Tetapi, di satu sisi waktu yang berbeda mereka tersadar seolah
merasa ada yang
kurang saat menyadari kedua orangtua mereka sudah tidak lengkap
bahkan sudah tidak
ada lagi di dunia ini. Terlambat. Untuk apa lagi menyesali itu semua? Ada
juga yang masih ingin bersama dan berniat untuk membahagiakan orangtua dalam
bentuk nyata, tetapi yang bisa dilakukan hanya sanggup mengirimkan cahaya berupa
doa untuk orangtuanya yang telah jauh pergi meninggalkan dunia. Dan masih
banyak lagi bentuk penyesalan-penyesalan lainnya.
Maka, oleh sebab
daripada itu semua, sayangilah kedua orangtua kita selagi mereka ada (dan
selagi kita mampu) dengan versi dan cara kita sendiri. Sebab, waktu tak akan
pernah bisa diputar seperti sedia kala. Tak ada kata terlambat untuk sadar dan
memulai merubah semua. Percayalah, penyesalan itu kelak nanti benar adanya.
Pertanyaan sederhananya sekarang adalah: “Jadi, kapan kita mau
berubah untuk ini semua???” : ))